TINDAK PIDANA MARITAL RAPE DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA by Nur Hamdyah

  1. LATAR BELAKANG

Hukum pidana yang digunakan Indonesia sampai saat ini merupakan hukum pidana warisan pemerintah kolonial Belanda ketika Belanda melakukan penjajahan di Indonesia sejak tahun 1915.[1] Belanda membawa Wetboek van Strafrecht 1881 sebagai peraturan pidananya, kemudian dilakukan unifikasi hukum pidana di negara jajahannya. Indonesia yang pada saat itu masih bernama Hindia Belanda memiliki Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie 1915 yang merupakan perubahan dan penyesuaian dari Wetboek van Strafrecht 1886 dan diberlakukan di seluruh wilayah Hindia Belanda mulai 1 Januari 1918.[2] Kemudian setelah Indonesia merdeka, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie 1915 tetap berlaku dengan nama.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. 

Seiring dengan perkembangan zaman, pembaharuan hukum pidana di Indonesia dilakukan karena munculnya kejahatan-kejahatan yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, terutama dalam KUHP. Berbagai upaya pembaharuan terhadap hukum pidana Indonesia telah dilakukan baik pembaharuan secara parsial maupun pembaharuan secara total untuk menciptakan suatu hukum pidana nasional yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi Indonesia saat ini. Salah satu upaya pemerintah dalam pembaharuan hukum pidana adalah dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.

Terdapat beberapa isu krusial yang dibahas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, dimana salah satunya adalah marital rape (perkosaan dalam perkawinan).[3] Marital rape ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 supaya konsisten dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.[4] Sebelumnya dalam KUHP lama tidak memuat ketentuan mengenai perkosaan dalam perkawinan. KUHP lama hanya memuat perkosaan di luar perkawinan. Namun sejak dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, perkosaan dalam perkawinan (marital rape) dikriminalisasikan sebagai kekerasan seksual dalam rumah tangga, dimana pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya dapat dipidana jika korbannya melakukan pengaduan ke pihak yang berwajib.

Marital rape merupakan hal yang serius sehingga perlu ditangani dengan baik, akan tetapi masih banyak masyarakat yang tidak berpikir demikian. Bahkan sebagian kalangan menganggap marital rape tidak ada, karena seorang istri harus siap melayani suaminya, termasuk dalam hubungan seksual.[5] Meskipun salah satu pihak tidak menghendaki itu, tetap dianggap suatu hal wajar dalam hubungan suami-istri yang sah. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan, laporan terkait perkosaan terhadap istri pada tahun 2019 tercatat ada 192 kasus, tahun 2020 tercatat ada 100 kasus, tahun 2021 tercatat ada 597 kasus,[6] dan pada tahun 2022 terjadi peningkatan tercatat ada 622 kasus.[7] Besaran angka tersebut merupakan sedikit dari sekian banyak yang terjadi pada kenyataannya. Masih banyak korban marital rape yang tidak berani menceritakan bahkan melaporkan ke pihak yang berwajib yang dialaminya dan ada juga tidak diterimanya pengaduan yang diajukan korban oleh pihak berwajib. Salah satu contoh kasus dalam Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2022, yang menjadi hambatan penanganan dan pemulihan TPKS karena sulitnya mengklaim keadilan melalui sistem pidana. Korban menikah dengan Pelaku pada 2021. Selama perkawinannya ia mengalami berbagai bentuk KDRT, termasuk kekerasan seksual. Sejak malam pertama, pelaku sudah mulai memaksa untuk mengikuti keinginannya untuk melakukan aktivitas seksual yang tidak disukai atau disetujui Korban. Puncaknya pada saat keduanya melakukan honeymoon di Bogor. Pelaku melakukan kekerasan seksual dengan cara menggesek-gesekkan penisnya pada dubur atau pantat, memaksa hingga 3-4 kali dalam satu hari, termasuk ketika menstruasi juga di tempat-tempat yang beresiko seperti kamar mandi. Akibatnya korban mulai mengalami sakit dan perih di bagian perut bawah serta rasa ngilu dan pendarahan di bagian vagina. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter di dua rumah sakit, korban didiagnosa mengalami komplikasi radang panggul, Infeksi Saluran Kemih (ISK) dan Infeksi Menular Seksual (IMS). Korban mengadukan kekerasan seksual yang dialaminya ke Polres Depok, wilayah tempat tinggalnya. Pengaduan tidak diterima karena menilai locus terjadi hanya pada saat korban honeymoon di Bogor. Sehingga Polres Depok menganggap tidak mempunyai kewenangan relatif untuk memproses pengaduan korban.[8] Selain itu, contoh kasus marital rape yang sempat tersorot di media, Tohari yang melakukan kekerasan seksual terhadap istrinya, Siti Fatimah, dimana Tohari memaksa berhubungan intim saat Siti sedang mengalami sakit sesak napas dan jantung. Berdasarkan Putusan Nomor 899/Pid.Sus/2014/PN Dps, Tohari hanya dipidana penjara selama 5 (lima) bulan.[9] Sehingga untuk menjamin kepastian hukum di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 memuat pengaturan marital rape.

  1. PEMBAHASAN

Perkosaan tidak bisa hanya dipandang sebagai kejahatan urusan privat, namun perkosaan adalah masalah publik karena salah satu perilaku yang tidak bermoral dan keji yang melanggar HAM dan juga mengakibatkan derita fisik, sosial, maupun psikologis bagi kaum perempuan. Marital rape secara terminologi merupakan gabungan dari kosakata Inggris, yaitu marital dan rape. Marital artinya segala hal yang terkait dengan perkawinan dan rape artinya pemerkosaan.[10] Marital rape adalah pemerkosaan yang terjadi dalam sebuah ikatan perkawinan yang dilakukan oleh suami terhadap istri.[11] Menurut seorang kriminolog Mulyana W. K. sebagaimana dikutip oleh Wahid et al., (2001), bahwa terdapat 6 (enam) jenis perkosaan, yaitu:[12]

  1. Sadistic Rape. Dalam Sadistic Rape, pada perkosaan jenis ini pelaku mendapatkan kepuasan dengan cara melakukan serangan pada korban. Serangan diarahkan pada alat kelamin dan tubuh korban lainnya.
  2. Angea Rape. Dalam jenis perkosaan ini, penganiayaan menjadikan tubuh korban sebagai objek pelampiasan amarah.
  3. Dononation Rape. Dalam hal ini perkosaan yang dilakukan kepada korban, karena pelaku menganggap bahwa pelaku lebih superior dibanding korban. Dengan kata lain pelaku memiliki motif untuk menganiaya korban dan juga ingin memperkosa korban.
  4. Seductive Rape. Dalam perkosaan ini, terdapat adanya pemicu atau rangsangan. Rangsangan bisa dari pelaku ataupun juga korban. Contohnya, rayuan dalam bentuk verbal. Mengakibatkan tanpa disadar pelaku memaksa korban untuk bersenggama tanpa ada penyesalan dan rasa bersalah.
  5. Victim Precipitated Rape. Pada jenis victim precipitated rape lebih menekankan perbuatan perkosaan terjadi karena ulah korban sendiri. Maksudnya korban sendiri yang mengakibatkan perkosaan itu terjadi.
  6. Exploitation Rape. Pada jenis perkosaan ini pelaku memanfaatkan posisi yang ada padanya sebagai orang yang dibutuhkan dari segi ekonomi maupun status sosial yang ada pada diri pelaku. Sehingga pelaku dapat memanfaatkan korban karena kondisi dibutuhkan korban tersebut.

Dalam KUHP lama tidak mengenal adanya marital rape, perkosaan hanya berlaku untuk diluar perkawinan sebagaimana diatur pada Pasal 285 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Dari pasal tersebut dapat dikatakan suatu perbuatan itu merupakan perkosaan jika memenuhi unsur delik, yaitu unsur “kekerasan atau ancaman kekerasan”, unsur “memaksa seorang wanita bersetubuh”, dan unsur “di luar perkawinan”.[13] Dikategorikan sebagai perkosaan jika memaksakan hubungan seksual dengan seorang wanita yang bukan istrinya, sehingga pelaku dan korban tidak terikat pernikahan. Jika mengacu pada Pasal 285 KUHP, dapat diasumsikan bahwa tidak mungkin terjadi perkosaan dalam suatu hubungan perkawinan. Karena secara agama maupun sosial budaya pada hakikatnya seorang istri memiliki kewajiban untuk melayani suaminya. Namun pada faktanya perkosaan dalam pernikahan (marital rape) itu ada.

Pasal 285 KUHP tidak mampu menanggulangi tindak pidana perkosaan dalam perkawinan dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menghukum pelaku.[14] Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, marital rape apabila ditinjau dari KUHP, masuk kategori pada Bab XIV KUHP tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Namun pada praktiknya untuk menghukum pelaku menggunakan dasar dari ketentuan KUHP Bab XX tentang Penganiayaan yang terdapat dalam pasal 351, 352, 353, 354, dan Pasal 90 KUHP yang mengatur masalah delik kejahatan terhadap tubuh dan jiwa.[15] Jika menggunakan pasal penganiayaan untuk mendakwa pelaku marital rape, sanksi pidana tergolong ringan tidak sebanding dengan akibat dan dampak yang dirasakan korban. KUHP memiliki banyak kelemahan dan keterbatasan dalam menyikapi marital rape, terutama dalam memberikan perlindungan korban karena belum adanya pengaturan mengenai marital rape.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) lahir sebagai undang-undang pertama yang mengkriminalisasi perkosaan dalam perkawinan sebagai kekerasan seksual. Pengaturan mengenai marital rape diatur pada Pasal 5, 8 46, dan 53 UU PKDRT. Dalam Pasal 5 menyebutkan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga”.[16] Kemudian kekerasan seksual dijelaskan lebih rinci pada Pasal 8 bahwa kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga maupun terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Dalam penjelasannya bentuk pemaksaan hubungan seksual adalah pemaksaan dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai. Pasal 46 memuat ketentuan pidana dari tindak pidana kekerasan seksual, mengatur bahwa pelaku kekerasan seksual dalam rumah tangga dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Selanjutnya dalam Pasal 53 mengkhususkan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya merupakan delik aduan. Dimana berdasarkan ketentuan tersebut, tindak pidana kekerasan seksual seperti pemerkosaan dalam perkawinan yang dilakukan suami hanya dapat ditindaklanjuti jika istri yang menjadi korban kekerasan tersebut tidak melaporkan ke pihak berwajib. Dengan hadirnya UU PKDRT menjadi awal pemerintah dalam memberikan jaminan keadilan korban dan kepastian hukum bagi penegak hukum untuk menghukum suami yang merupakan pelaku marital rape.

Akan tetapi seiring berjalannya waktu, angka kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan semakin meningkat di berbagai sektor sehingga melahirkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pengaturan mengenai marital rape dalam UU a quo lagi-lagi tidak disebutkan secara eksplisit. Pasal 4 ayat (2) huruf h yang menyebutkan bahwa kekerasan seksual dalam rumah tangga merupakan salah satu tindak pidana kekerasan seksual. Kemudian dalam Pasal 6 huruf b mengatur bahwa “Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).” Pasal a quo cakupannya sangat luas, dapat dilihat ketentuan dan sanksi hukum dari pelaku pelecehan seksual, tidak hanya mengatur kekerasan seksual dalam perkawinan tetapi juga di luar perkawinan. Selain itu, subjek “Setiap Orang” dalam pasal a quo tidak spesifik dan multitafsir. Selanjutnya pada Pasal 7 menerangkan bahwa Pasal 6 huruf a merupakan delik aduan, bukan Pasal 6 huruf b.[17]

            Upaya pembaharuan hukum pidana telah dilakukan sejak tahun 1958 akhirnya berhasil dilakukan di tahun 2023 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru). Dalam KUHP baru memuat ketentuan mengenai marital rape dengan jelas. Hal ini menandakan adanya perluasan makna perkosaan dalam hukum pidana Indonesia. Marital rape ditambahkan dalam rumusan Pasal 473 supaya konsisten dengan Pasal 53 UU PKDRT. Pasal 473 ayat (2) huruf menjelaskan bahwa persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuan, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah termasuk perbuatan tindak pidana perkosaan. Ayat (3) pasal tersebut juga mengatur bahwa dapat dianggap sebagai tindak pidana perkosaan jika dilihat dengan cara seperti memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain, memasukkan alat kelamin orang lain ke dalam anus atau mulutnya sendiri, atau memasukkan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau suatu benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain. Setiap orang yang melakukan perkosaan diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Jika mengakibatkan luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun, namun jika mengakibatkan matinya orang, pidananya dapat ditambah ⅓ (satu per tiga) dari ancaman pidananya.[18] KUHP baru juga menerapkan delik aduan pada tindak pidana marital rape.

            Penulis sangat setuju dengan adanya pembaharuan pengaturan marital rape yang jelas dalam konstitusi nasional Indonesia. Namun terdapat beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan saran untuk pembaharuan kedepannya. Pertama, marital rape dapat diubah menjadi delik biasa, bukan delik aduan. Banyak istri yang tidak berani melakukan pengaduan sebab merasa malu karena hal tersebut dapat dikatakan sebagai aib dalam keluarga. Oleh karena itu jika diubah menjadi delik biasa, setiap orang yang menyaksikan perkosaan dalam perkawinan baik dengan melihat atau mendengar dapat segara melaporkan ke pihak berwajib. Namun jika tidak memungkinkan, tetap pada delik aduan. Akan tetapi jika korban melakukan pengaduan, harus melalui proses pidana terlebih dahulu dan segera dilakukan penangkapan. Hal ini untuk melindungi korban marital rape dari pelaku, dimana keberadaan pelaku dapat membuat korban takut. Setelah itu, putusan yang dijatuhkan dalam peradilan pidana dapat menjadi persyaratan atau bukti untuk permohonan perceraian. Karena jika melalui proses perceraian terlebih dahulu membutuhkan waktu yang lama untuk membuat jarak antara pelaku dan korban.

Kedua, perlunya penyelarasan pengaturan, khususnya mengenai pidana denda dalam tindak pidana marital rape. UU PKDRT menggunakan perumusan sanksi pidana alternatif, pidana penjara maksimal 12 (dua belas) tahun atau  denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). UU TPKS menggunakan perumusan sanksi pidana alternatif-kumulatif, pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Sedangkan KUHP baru, hanya menggunakan pidana pokok penjara selama 12 tahun. Hal ini akan membuat aparat penegak hukum kebingungan dalam menerapkan pasal dakwaan.

  1. KESIMPULAN

Hukum pidana di Indonesia telah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan masyarakat. Hukum pidana Indonesia saat ini masih memberlakukan hukum pidana warisan dari pemerintahan kolonial Belanda, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie 1915 yang diganti nama menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Salah satu wujud pembaharuan hukum pidana secara keseluruhan adalah adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru). Terdapat beberapa isu krusial yang dibahas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, dimana salah satunya adalah marital rape (perkosaan dalam perkawinan). Marital rape sebelumnya tidak diatur dalam KUHP. Kemudian disahkannya UU PKDRT dan UU TPKS, namun tidak diatur secara eksplisit. Dalam KUHP baru mulai memuat ketentuan mengenai marital rape dengan jelas.

Meskipun terdapat upaya pembaharuan, masih terdapat isu-isu kompleks yang perlu dicermati. Salah satunya adalah persepsi masyarakat terhadap marital rape yang masih kurang sensitif. Beberapa kalangan masih menganggapnya sebagai hal yang wajar dalam hubungan suami-istri, mengabaikan hak-hak dan martabat perempuan. Sehingga perlu terus dilakukan evaluasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum ini agar dapat lebih efektif menjamin keadilan bagi korban dan memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku. Pertama, marital rape berubah menjadi delik biasa, bukan delik aduan. Kedua, perlunya penyelarasan pengaturan, khususnya mengenai pidana denda dalam tindak pidana marital rape.


[1] Ni Putu Yulita Damar Putri dan Sagung Putri M.E Purwani, “Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia,” Jurnal Kertha Wicara 9, no.8 (2020): 3.

[2] Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat (Bandung: Alumni, 2005), 4.

[3] CNN Indonesia, “Daftar 14 Isu Krusial RKUHP yang Digodok Pemerintah,” CNN Indonesia, Agustus 03, 2022, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220803144939-12-829813/daftar-14-isu-krusial-rkuhp-yang-digodok-pemerintah.

[4] Partisipasiku. “Perkosaan dalam Perkawinan.” https://partisipasiku.bphn.go.id/diskusi/perkosaan-dalam-perkawinan (diakses pada tanggal 10 Oktober 2023).

[5] Bani Syarif Maula dan Vivi Aritanti, “Kriminalisasi Perkosaan dalam Perkawinan Menurut Hukum Pidana Nasional dan Hukum Islam,” Jurnal Equalita 3, no. 2 (Desember 2021): 97

[6] CATAHU 2022: Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2021, hal 48.

[7] CATAHU 2023: Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2022, hal 23.

[8] CATAHU 2023: Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2022, hal 116.

[9] Putusan Nomor 899/Pid.Sus/2014/PN Dps

[10] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), 373 dan 465.

[11] Milda Marlia, Marital Rape Kekerasan Seksual terhadap Istri (Bantul: Pustaka Pesantren, 2007), 11.

[12] Nurlaila Isima, “Kebijakan Hukum Pidana Marital Rape dalam Konsep Pembaharuan Hukum di Indonesia,” Jounal of Islamic Family Law 1, no, 2 (2021): 128

[13] Nurlaila Isima,129

[14] Nurlaila Isima,130.

[15] Suheflihusnaini Ashady, “Kebijakan Penal terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga,” Jurnal Fundamental Justice 1, no, 1 (April 2020): 3. https://doi.org/10.30812/fundamental.v1i1.630

[16] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemghapusan Kekerasan dalam rumah Tangga

[17] Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

[18] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Share your love

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *